Terpidana Bom Bali: Amerika Kolaps
(Langkah Menyikapi Krisis Finansial)
Sebelumnya mohon maaf yang sebesar-besarnya. Penulis tidak mampu menyembunyikan hasrat untuk tertawa sekeras-kerasnya mendengar komentar para terpidana mati bom bali yang dimuat di bebarapa surat kabar bebarapa hari yang lalu (06/10/08). Yang mengatakan Amerika kolaps dengan nada penuh rasa syukur. Kenapa bagi penulis sangat lucu?ya karena komentar tersebut sangat terkesan asal-asalan. Bagaimana tidak. Kalau Amerika kolaps akibat krisis ekonomi dalam negerinya, bisa dipastikan perekonomian dunia bakal terjun bebas. Termasuk Indonesia tentunya. Asumsi tersebut juga tidak perlu waktu lama untuk menjadi fakta. Ketika Wall Street ambruk yang awalnya dipicu oleh bangkrutnya Lehmahn Brothers, semua bursa saham dunia bak kerbau dicocok hidungnya manut plus nurut sendiko gusti ikut-ikutan tumbang.
Dan, meskipun Wapres Jusuf Kalla telah berusaha menenangkan dan meyakinkan publik untuk tidak terlalu khawatir karena menurutnya krisis moneter AS tidak akan begitu berpengaruh terhadap Indonesia. Toh IHSG merosot drastis hingga hampir mencapai 20% akibat kepanikan pemain bursa. Justru lebih parah dibanding bursa-bursa negara lain yang hanya berkisar antara 4-5%. Artinya, ketergantungan ekonomi kita terhadap pergerakan ekonomi dunia terutama AS, masih begitu besar. Dan hal itu tidak bisa dengan begitu saja terelakkan di dunia yang digambarkan dengan sebagai suatu wilayah tanpa batas (borderless) seperti sekarang ini. Dimana terdapat keterikatan ekonomi yang tidak bisa begitu saja dinafikan oleh sentimen buta.
Jadi bukan bukan bermaksud pro-AS tentunya jika saya berharap pada semua agar jangan sembarangan berteriak “syukurin loe” terhadap AS.
Kalau anda (pembaca) ingin menertawakan kondisi ekonomi AS sekarang ini-meskipun tetap saja tertawanya tetap saja tidak akan lepas. Yang pertama perlu anda lakukan-paling tidak dalam lingkup kecil, adalah mengandalkan produk domestik dan meminimalisir konsumsi produk-produk impor dan terutama AS disamping karena harganya mahal karena posisi rupiah yang semakin hari kian loyo.
Kedua, genjot ekspor barang dalam negeri ke negara lain sebesar-besarnya gar mendapat berkah dari lemahnya nilai tukar. Selain juga untuk mendongkrak neraca perdagangan dan penanaman FDI. Tapi jangan ke AS, akan sami mawon karena kalau terjadi resesi seperti sekarang yang menurut para analis baru akan pulih seperti sedia kala dalam kurun waktu lima sampai enam tahun. Ekspor anda akan mampet akibat ketatnya kebijakan likuiditas pemerintah AS. Kecuali untuk sektor energi primer yang tidak pernah terpengaruh kebijakan likuiditas.
Ketiga, tekan pemerintah Indonesia agar merevisi kebijakan ekonominya dalam mengatasi krisis finansial ini. Program yang ditempuh saat ini yaitu memberi suspensi saham dam buy out saham BUMN bisa dikatakan justru tidak melindungi rakyat terutama sektor riil yang terkena imbas dari krisis global. Sektor riil yang notabene menjadi salah satu poin presiden untuk diperkuat. Justru dalam kebijakan ekonominya antitesis daripada itu. Dengan kebijakan yang diterapkan sekarang, otoritas finansial dalam negeri dalam aplikasinya justru melakukan bail out tersembunyi terhadap pemain finansial asing. Bagaimana tidak. Bursa saat ini dua pertiga diantaranya adalah dimiliki oleh asing, daan kepemilikan oleh lokal adalah kurang dari 1%.
Kalau anda dan saya (penulis) belum bisa melakukannya. Tidak usah tertawa lebar dahulu melihat kembang-kempis AS karena penertawaan kita adalah sebuah “kelucuan” dalam artian ironis. Seperti halnya komentar para terpidana mati bom Bali di awal tulisan ini. Lha wong kalau AS kolaps, Indonesia ikut koma (meminjam istilah humor tokoh kartun di salah satu media massa). Anda mau Indonesia koma??
Nandar Wibisono S.E*
* Alumni Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan
Unibraw Malang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar