(Sebuah Tanggapan Tayangan Debat TVone 30/10/2008)
Oleh: N.Wibisono
Kalau anda berharap saya akan menguraikan sebuah perspektif dengan latar belakang agama dan kutipan-kutipan ayat. Maka urungkan niat anda untuk sekedar membaca tulisan ini. Karena saya jauh dari gambaran seorang muslim yang taat, dangkal pengetahuan agama, dan ujung-unjungya tentu saja berkaca pada diri sendiri.
Menarik disimak dalam sebuah acara bertajuk debat di stasiun TVone (30/10/08) yang bertema seputar salah benar tindakan para pelaku bom bali. Terus terang, saya menjadi salah satu pihak yang berada di sisi yang menganggap bahwa pelaku bom bali lebih pantas disebut teroris daripada mujahid. Dan saya sebagai seorang yang dibesarkan di lingkungan Nahdlatul Ulama (NU) tentu merasa sedikit sakit hati (tapi minus aksi anarkhi) sekaligus khawatir. ketika salah satu pembicara dari Majelis Mujahadin Indonesia (MMI) memojokkan pembicara dari intelektual muda NU dan statemen-statemennya yang berpotensi ‘melahirkan’ teroris-teroris baru.
Sekali lagi, sebagai seseorang yang dibesarkan di lingkungan NU, yang menjunjung tinggi toleransi, membuat saya sangat bangga akan “keislaman” saya. Betapa islam membawa keindahan, menanamkan tenggang rasa. Barulah sekarang ini saya merasa khawatir, malu. Bagaimana islam yang indah itu diselewengkan oleh segelintir orang, yang menjadikan pihak di luar islam melihat stigma islam bagaikan sebuah agama bar-bar, terbelakang, kaku-sama sekali tidak melihat perubahan zaman. Meskipun begitu, saya tidak benci pada para pelaku bom bali sebagai individu. Saya hanya benci pada ‘ulah’ mereka yang justru mendiskreditkan islam itu sendiri. Maka, saat pembicara MMI ditanya pendapat tentang apakah bom tersebut masih pantas disebut mujahid sedangkan korbannya juga banyak yang berasal dari kaum muslim sendiri, dan si pembicara tersebut menjawab dengan enteng “para korban hanyalah efek” dan tetap menganggap pelaku bom bali adalah mujahid. Saya sampai sempat (maaf), mengumpat dalam hati. Apakah mereka (pendukung dan pelaku bom bali) tidak berfikir panjang? apakah mata hati mereka sudah terlanjur dibutakan oleh fanatisme buta dan sentimen rasial? Apakah mereka tidak berfikir tentang akibat-akibat buruk yang kalau diuraikan satu persatu bisa setebal buku skripsi? Lalu bagaimana dengan nasib anak-anak yang orang tuanya menjadi korban ledakan? Karena saya bukan ulama, saya hanya mencoba memberi gambaran sederhana yang mungkin luput dari pemikiran pelaku yang notabene heaven minded itu. Sebuah misal, seorang anak yang orang tuanya menjadi korban ledakan akhirnya terlunta-lunta tanpa harapan. Kemudian, karena tanpa ada bimbingan dari orang tua. Dia memilih menjadi seorang (sekali lagi maaf) pelacur. Apakah para pelaku bom ini juga tidak ikut menanggung dosanya. Karena secara tidak langsung menjerumuskan si anak pada kemaksiatan. Pendeknya, janganlah kita berfikiran sempit layaknya suku-suku terbelakang. Jangan melihat islam cuma dari ornamen, islam itu esensi. Menanggapi juga dari statemen-statemen pembicara MMI yang ketika terdesak selalu berlindung pada jawaban ‘yang bukan mujahid tentu saja tidak bisa dimintai pendapat tentang apa dan bagaimana mujahid itu’. Saya hanya bisa tersenyum, dan berucap dalam hati. Apakah MMI ikut berjuang bersama para pejuang kemerdekaaan-yang tentu sudah tidak ada pro-kontra,adalah mujahid sejati. Melawan penjajah belanda?. Jauh sebelum MMI, FPI, dan para teroris lahir. NU, bersama Muhammadiyah dan Persislah yang bahu-membahu berjuang melawan kaum kafir penjajah. Jadi harap sedikit maklum kalau mereka-mereka ini seperti tidak perduli tentang Indonesia, dasar dan asas negara, tentang hukum positif yang berlaku di Indonesia. Karena mereka tidak ikut berjuang dengan cucuran darah dan air mata, sekedar untuk mendirikan sebuah bangsa yang kemudian dengan hati-hati dan cermat disetting agar bisa mengakomodir seluruh elemen di dalamnya. Para pejuang kemerdekaan dahulu tidak pernah berujar “insyaAllah saya masuk surga”. Mereka berjuang tanpa berharap reward surga melainkan ridho Allah semata, karena mereka mengetahui esensi bukan ornamen. Yang penting itu bukan harus baju gamis dan bersurban, lha wong kita ini hidup di Indonesia yang iklimnya jelas berbeda dengan arab. Saya justru lebih bangga memakai kombinasi sarung, baju koko, peci hitam. Karena itu adalah salah satu budaya bangsa yang patut dilestarikan.
Terus terang, kita harus khawatir. Akan keberlangsungan Indonesia sebagai sebuah negara. Maka saya harap, sematkan pada pikiran para pembaca. Bahwa kita ini muslim, sekaligus Warga Negara Indonesia-negara yang berasas Pancasila. Sebuah alat pemersatu yang menjunjung tinggi toleransi umat beragama. Terakhir, tulisan ini bukanlah pendiskreditan orang atau organisasi tertentu. Tulisan ini hanyalah opini untuk menyadarkan kembali bahwa Indonesia adalah anugerah terindah yang harus kita jaga. Dari segala upaya untuk mengubah dasar negara yang potensial menimbulkan disintegrasi.
aku ada artikel tentang mereka, mungkin salah mungkin juga bisa benar...... butuh kritikan bro,
BalasHapus