DARNO, FLU BURUNG, DAN POLITIK
Darno sedang bingung. Tak tahu kenapa tiba-tiba burung nuri miliknya tak mau lagi berkicau, makan pun seperti ogah-ogahan.
“Kau kenapa?” kata Darno sambil memandangi burungnya tanpa berkedip di teras rumah. Bersiul-siul seakan mencoba menyelami pikiran burungnya. Dahlan, temannya yang duduk di kursi hanya tersenyum sambil menghisap rokok kreteknya dalam-dalam melihat tingkah Darno.
“Ayolah, aku rindu kicauanmu yang merdu”
“Suaramu itu membebaskanku dari kepenatan, jenuh aku setiap hari melihat suara-suara sumbang di televisi”
“masak tiap hari yang terpampang di media hanyalah pertengkaran, adu argumen!”
“Kalaupun mereka bersuara merdu, itu hanya di bibir!, hanya lip service kata anak-anak kuliahan.”
Kali ini Dahlan tak mampu menyembunyikan kegeliannya dan tertawa terbahak-bahak.
“Oalah No, lagakmu seperti politisi saja. Lagian kamu dari tadi ngomong sendiri, kalau orang-orang lihat nanti dikira orang gila lho”
“bicara sama burung kok mirip acara dengar pendapat gitu to?”
“memangnya jaman sekarang ada orang yang tidak gila?”, balas Darno
“Cuma burungku ini yang tidak gila”
“Dia tidak pernah minta tunjangan, nggak pernah merengek minta mercy, nggak pernah mau disogok”
“Dia sudah senang kalau dikasih makan cukup, itu namanya tahu batas!”
“Sudah-sudah No, aku nggak ngerti apa yang kamu omongin”
“Kita kembali pada masalah burung saja”
“Kamu lihat di TV kan kalau sekarang flu burung sedang mewabah? Jangan-jangan burungmu terinfeksi virus itu No?”
“Ah..masak sih?”
“Tapi mungkin juga sih soalnya kemarin ayam pak Karim, depan rumah itu mendadak mati”
“Trus, berita di TV juga bilang di Jakarta unggas-unggasnya mau dimusnahkan lho No” kata Dahlan sembari bangkit dari tempat duduknya
“Tidak menutup kemungkinan kan kalau misalnya di kota ini juga akan diberlakukan kebijakan seperti itu.”
“Tapi...burungku kan nggak salah Lan”
“Kalau sakit kan harusnya diobati bukan di musnahkan”
“Kalau menular ke manusia bisa berbahaya No, hasilnya cuma mati. Apalagi obatnya belum ada”
“Udah No, aku pulang dulu, sudah sore”
Sepulangnya Dahlan dari rumahnya, Darno termenung sendirian sambil pikirannya menerawang jauh. “Kenapa hidup ini penuh dengan pilihan?”, batin Darno. “Kalau burungku tidak kubunuh berarti aku yang akan mati. Tapi aku tidak tidak ingin hidup dengan mengorbankan burung yang kusayangi. Ah..tapi burungku kan belum tentu terjangkit flu burung. Berarti masih suspect, belum tentu benar-benar terjangkit. Tapi, bukankah orang-orang yang terjangkit flu burung di TV itu juga tidak pernah dikatakan sebagai penderita flu burung sebelum mereka meninggal? Bilangnya Cuma suspect-suspect melulu tapi akhirnya mati juga.”
Khayalan Darno merambat semakin jauh sampai akhirnya waktu beranjak malam dan Darno pun masuk ke dalam rumah dan tidur dengan membawa berjuta tanya yang takkan pernah terutarakan. Karena, 5 hari kemudian Darno demam tinggi dan akhirnya meninggal, kemudian disusul Dahlan 2 hari sesudahnya........
Oleh : Nandar Wibisono
Tidak ada komentar:
Posting Komentar