Google Search Engine

9.08.2008

Konsumen: Hak-hak yang dikebiri

KONSUMEN : HAK-HAK YANG DIKEBIRI

Oleh : N.Wibisono


Beberapa hari yang lalu (15/03/06), seluruh elemen masyarakat merayakan hari konsumen sedunia. Apa yang menjadi alasan masyarakat sedunia memperingatinya? Adalah sebuah refleksi akan pentingnya hak-hak konsumen dilindungi dari segala bentuk komersialisasi yang menafikan hal-hal tersebut dan hanya berorientasi pada keuntungan (profit oriented).

Masih belum lekang dalam ingatan kita bagaimana beberapa waktu yang lalu kasus formalin muncul ke permukaan dan semakin mengindikasikan lemahnya perlindungan terhadap konsumen. Menyentak dan menyadarkan betapa di Indonesia yang tercinta ini, kita (konsumen) tidak mendapatkan perlindungan maksimal dalam mendapatkan barang yang berkualitas dan tanpa resiko setelah proses meng-konsumsi. Sebuah ironis dan diskriminatif ketika kita melihat bagaimana pemerintah sangat memanjakan dan memperlakukan secara eksklusif investor-investor asing yang masuk dan berbisnis di Indonesia (Newmont, Freeport, Exxon Mobile,Nestle, dll), sementara masyarakat yang nota bene juga menggunakan produk-produk mereka diabaikan hak-haknya.

Sapi Perah Menggapai Profit

Apa mau dikata, konsumen di Indonesia sampai saat ini tak lebih hanya berfungsi sebagai sarana dan sasaran pencapaian keuntungan oleh para pelaku pasar. Ibarat sapi perah, konsumen difungsikan sebagai obyek yang terus diperas secara finansial tanpa imbal balik yang sepadan terutama produk yang berkualitas.

Peran pemerintah? Jangan terlalu berharap paling tidak untuk sekarang ini, kebijakan yang dibuat pemerintah dengan semakin memperlonggar aturan untuk produk-produk asing yang akan masuk ke pasar Indonesia menjadikan konsumen berada pada posisi yang lemah utamanya karena ketidaktahuan akan efek dari barang-barang yang dikonsumsi. Pengusaha asing-pun merespon hal ini sebagai sebuah peluang akan adanya market share yang menurut mereka lebih mudah dibodohi untuk mengeruk kekayaan sebanyak-banyaknya.

Yang lebih parah, semakin besarnya pengaruh media (cetak dan elektronik) sebagai penyampai informasi kepada publik terjebak pada aspek finansial untuk melanggengkan usahanya. Menerima dan memperkenalkan produk (dengan iklan) yang terkadang janji-janjinya sangat menyesatkan dan tidak realistis. Misalnya saja, beberapa produk susu dalam iklannya mengklaim bahwa susu tersebut mampu menggantikan peran ASI (air susu ibu). Ini jelas menyesatkan masyarakat karena kita tahu sampai saat ini ASI adalah yang terbaik untuk dikonsumsi bayi. Selain karena faktor gizi, ASI secara tidak langsung juga mendekatkan hubungan emosional antara ibu dan anak. Entah bagaimana hasil produk generasi muda beberapa tahun mendatang apabila hal yang kelihatannya sepele ini namun memegang peranan penting tidak pernah dihiraukan.


Kebijakan Pemerintah Anti Konsumen

Bukannya bersikap apriori terhadap pemerintah, namun realitas tak dapat berbohong bahwa yang terjadi memang demikian. Baru-baru ini PLN mengisyaratkan akan (kembali) menaikkan TDL (Tarif Dasar Listrik). Lagi-lagi masyarakat sebagai pemakai jasa listrik menjadi korban atas sebuah alasan tentang megap-megapnya kondisi keuangan di tubuh PLN, hal ini baru bisa dikatakan realistis apabila kebocoran (korupsi) di tubuh PLN sudah bisa diberantas.

Kenapa kita sebagai konsumen yang harus menanggung akibat ulah segelintir makhluk (tidak bisa disebut sebagai manusia) yang menumpuk kekayaan dengan cara korupsi?. Maka menjadi sebuah hal yang wajar apabila masyarakat menolak rencana kenaikan TDL tersebut. Bukankah seharusnya pemerintah secara institusi bersama-sama dengan pengusaha adalah Ingredient bagi sebuah masakan yang di dalamnya tidak terkandung arsenik yang membahayakan? Bukannya malah anti konsumen. Konsumen adalah raja dan sudah seharusnya pemerintah serta pengusaha bekerja sebagai pelayan yang dengan cermat memilah, mengolah, menghidangkan sajian bermutu bagi kebutuhan raja. Keuntungan memang perlu, tapi bukan segala-galanya.........


Tidak ada komentar:

Posting Komentar