SENI : KEMISKINAN
Oleh N.Wibisono
Anda boleh tidak setuju dan mengambil kesimpulan bahwa penulis apriori terhadap seni. Namun realita tidak bisa dibantah, berapa jumlah sekolah kesenian di Indonesia? Bisa dihitung dengan jari!berapa banyak orang tua yang dengan suka rela melepaskan dan mempercayakan pendidikan anaknya pada sekolah kesenian?lagi-lagi bisa dihitung dengan jari!Begitulah yang terjadi. Apalagi apresiasi terhadap seni sangatlah kurang. Pekerja seni seringkali hanya diberi label sebagai kaum pengangguran kurang kerjaan. Kaum depresi yang butuh sarana pencarian jati diri.
MEDIA MENGGIRING OPINI
Media cetak dan elektronik sebagai kanal penghubung citra seni dengan penikmat seni (masyarakat), sedikit banyak memberi kesan seolah-olah seni hanya diwakili oleh kaum selebritis melalui seni tarik suara dan seni peran (film, sinetron). Masyarakat yang mengakses informasi melalui media, dicekoki sehingga mau tidak mau menghadirkan opini bahwa seni sama dengan artis, selebritis. Akibatnya, seni dalam bentuk lain seperti seni rupa, tari, dan lain-lain yang tidak terangkat media menjadi terpinggirkan. Dalam sebuah pameran lukisan misalnya, pengunjung yang minim bisa dijadikan sebuah parameter yang cukup bisa dipertanggungjawabkan dalam menilai bagaimana apresiasi masyarakat Indonesia terhadap seni dalam bentuk luas. Menjadi tragis ketika seni seakan menjadi tamu di negeri sendiri.
SEKOLAH SENI, NASIBMU KINI
Sekolah seni sebagai institusi pencetak pekerja seni tak mampu berbuat banyak dalam menghadapi degradasi pandangan masyarakat ini. Dengan keterbatasan dalam kuantitas, sekolah seni tak mampu bergerak optimal sebagai wadah penajaman kreativitas. Dengan hanya segelintir peminat, sekolah seni seakan tak mampu bernapas karena tidak bisa dipungkiri, faktor ketersediaan dana menjadi sangat penting di Indonesia yang mengedepankan komersialisasi ini. Tanpa pemasukan dari SPP siswa, dari mana dana untuk menggulirkan proses belajar mengajar?
SENI TIDAK MENJANJIKAN KEMAKMURAN
Berbeda dengan negara-negara barat yang rata-rata memposisikan seni pada kedudukan yang terhormat. Pekerja seni di Indonesia menghadapi dilema.Di satu sisi, hati nurani menyuarakan untuk mempertahankan idealisme. Namun di sisi lain, kebutuhan perut tak mampu dihindari. Pengrajin topeng, pemain ludruk, penari tradisional hanyalah beberapa contoh yang memperlihatkan betapa memprihatinkannya nasib pekerja seni. Jangankan untuk hidup layak, untuk memenuhi kebutuhan perut saja terkadang masih kurang. Akibatnya, pekerjaan dalam bidang seni kurang diminati dan cenderung dihindari. Untuk pelaku seni sendiri, seringkali harus membuang jauh-jauh ide,inovasi, dan kreasi seninya dengan berpindah pada jenis-jenis aktifitas lain yang lebih menjanjikan masa depan. Sebuah ironi pada sebuah bangsa yang mengaku berkebudayaan dan bercita rasa seni tinggi.
PERAN PEMERINTAH
Sebenarnya, menjadi suatu hal yang bodoh dan naif jika jika kita mengharapkan adanya kepedulian pemerintah terhadap dunia seni. Pemerintah sebagai institusi legal formal yang mempunyai wewenang dan kewajiban meng-akomodasi kepentingan semua pihak (termasuk seni) tanpa melihat faktor mayoritas-minoritas, seperti tidak mau tahu tentang eksistensi kesenian. Seharusnya, pemerintah membentuk dan menyediakan sarana penyalur bakat seni dalam bentuk sekolah-sekolah seni. Tidak seperti sekarang ini, jangankan sekolah seni, sekolah umum-pun tidak dipedulikan oleh pemerintah. Selain dalam bentuk sekolah, pemerintah seharusnya juga menyediakan sarana publik untuk menikmati karya seni, galeri misalnya. Di Indonesia, pada umumnya galeri dibuat dan dikelola oleh pribadi yang masih perduli terhadap nasib kesenian. Akankah pemerintah terketuk dan mau mengambil langkah konkret dalam menyikapi hal ini?jangan terlalu berharap. Bagi yang sudah terlanjur berharap, segera matikan api harapan itu sebelum terlambat...........
Tidak ada komentar:
Posting Komentar