KELINCI ITU (AKAN) HADIR DISINI
Oleh: N. Wibisono
Ketenangan keluarga kami akhir-akhir ini sedikit terganggu, hal ini dipicu oleh kedatangan tetangga baru disebelah rumah kami, pak Parno namanya. Dia tinggal seorang diri, kabarnya istrinya keburu meninggal sebelum mereka punya anak. Ayahku yang sudah 1 tahun ini pensiun dari pegawai negeri sering menggerutu. Masalahnya sih sepele, pak Parno punya peliharaan seekor kelinci.
“ Kelinci kok dipelihara” kata bapak. “Kalau yang dipelihara anjing atau kucing sih biasa, benar-benar aneh pak Parno itu”
“Ya biasa to Pak, banyak lho orang lain yang juga suka sama kelinci selain pak Parno” jawabku.
“Kalau orang lain sih nggak apa-apa, yang penting tidak dekat rumahku!!”
Akupun hanya bisa diam. Maklumlah, orang tua kadang suka aneh-aneh.
Keesokan harinya aku terbangun olah suara keras bapak dari halaman rumah, dengan tergopoh-gopoh akupun bangun dan bergegas keluar.
“Ada apa to Pak, pagi-pagi udah mencak-mencak.”
“Lihat kotoran-kotoran itu, itu pasti tahi kelinci!”
Mbokya dibuatkan kurungan saja biar nggak seenaknya buang air di halaman rumah orang.
“Mulai lagi nih,” batinku. Kalau ada pak Parno malah nggak berani ngomong apa-apa, pasti anak-anaknya yang jadi pelampiasan.
“Mungkin pagar kita memang kurang tinggi pak”
”sudah rendah, lapuk lagi.” Ujarku sambil menunjuk pagar bambu kami yang memang kelihatan sudah reot.
Setelah kejadian di halaman itu, tetangga-tetangga kami sering mempergunjingkan kelakuan bapak yang agak over itu. Pernah, saat aku ke warung di depan rumah aku mendengar mereka berbisik-bisik. “Tau nggak, ternyata pak Muslim itu alergi sama kelinci. Emangnya ada penyakit alergi kelinci?”
Cepat-cepat aku bergegas pulang sambil pura-pura tak mendengar percakapan ibu-ibu itu.
Beberapa waktu kemudian, bapak yang sudah tidak tahan dengan tahi-tahi yang ditimbulkan kelinci pak Parno, lagi-lagi membuat tingkah yang aneh. Aku dan adikku dipanggil dan diajak rapat keluarga secara mendadak oleh bapak.
“Kalian tahu, kenapa aku mengumpulkan kalian?”
“Mboten, pak!” Jawabku serempak dengan adikku.
“Aku mau membuat undang-undang”
Aku tersenyum dalam hati, memangnya pemerintah kok pake undang-undang segala
“Undang-undang apa to pak?” tanya adikku
”Undang-undang biar kelinci sialan itu tidak masuk ke halaman rumah kita. Apa kalian nggak jijik tiap pagi harus membersihkan tahi kelinci?”
“Peraturannya seperti apa pak?”
“peraturan ini kusebut dengan undang-undang anti kelinci”
“poin pertama, setiap anggota keluarga yang memergoki kelinci itu berada dihalaman kita, harus segera mengusir dengan cara apapun!”
“Kedua, kita adakan shift bergilir untuk menjaga halaman kita”
“Cuman gitu thok pak?” tanyaku
“Kamu mau nambah? ditambahin apa?”
“Eng..enggak deh pak,” jawabku sambil menunduk karena sebenarnya aku tak mau tambah pusing mikirin hal-hal remeh seperti ini.
“Pak...” kudengar adikku bersuara, memang adikku lebih berani daripada aku
“Kenapa sih kita capek-capek ngurusin kelinci?”
“Mau pake undang-undangpun kulo yakin keadaan nggak tambah lebih baik.”
“Lha wong kelinci itu binatang, mana bisa diatur!”
“Kalau kita jaga siang hari, dia bisa masuk malam hari”.
“Pagar kita pertinggipun juga enggak bisa menghalangi, wong kelinci bisa buat lubang ditanah kok.”
“Mungkin kelinci itu suka ke halaman kita karena rumputnya kurang terawat. Kalau kita siangi rumputnya, mungkin kelinci itu nggak akan melompat-lompat lagi kemari.” “Lagian, bapak kok concern banget terhadap masalah ini? Binatang-binatang lain yang mampir dan mengotori halaman kita kenapa nggak dipermasalahkan?”
“Jangan-jangan, sebenarnya bapak punya masalah pribadi dengan pak Parno ya? Kalau berawal dari masalah pribadi, itu namanya ber-tendensi lho pak.”
Bapak terdiam, menghela napas dan pergi tanpa mengucap sepatah katapun beliau melangkah pergi, beliau memang seringkali kalah bila beradu argumen dengan adikku.
Sejak itu, aku dan adikku tidak perduli akan kehadiran kelinci itu meskipun kami tidak tahu bagaimana dengan sikap bapak, apakah menerima dengan lapang dada atau tetap pada pendiriannya untuk menolak. Yang jelas, aku dan adikku sama-sama berpikiran bahwa kelinci itu akan tetap hadir disini.
Dengan atau tanpa persetujuan kami, legal atau ilegal, atau bahkan mungkin, menyamar dalam bentuk yang lain. Seperti halnya kehidupan lainnya yang telah berada di halaman kami lebih dulu.
Kadang-kadang kami dengar dari obrolan tetangga, pak Parno suka kelinci karena katanya hewan itu adalah simbol kejantanan, modernitas, dan kapitalis.
Pernah suatu saat, waktu keluarga kami mengadakan selamatan, adikku yang memang suka iseng mengubah huruf pada nama di lembaran undangan pak Parno.
Huruf ”A”-nya diganti ”O”, biar lebih marketable katanya. Entahlah, apa maksudnya aku tak tahu...
Oleh
N.Wibisono
Untuk kehadiran playboy Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar