Google Search Engine

9.08.2008

Refleksi kemerdekaan

kemerdekaan: terus membangun dan tetap waspada

Sebongkah mutiara, kata orang. Tergores sana-sini, berdebu, tapi yang namanya mutiara tetaplah mutiara. Bahkan walau ditimbun di tempat sampahpun, mutiara tetap diaduk-aduk, digali dan diperebutkan. Ya, itulah Indonesia. Siapa sih yang tidak “ngiler” melihat potensi kekayaan alam Indonesia yang belum maupun sudah ter-eksplorasi. Jadi kita sebenarnya tidak usah berandai-andai suatu saat Indonesia akan diserang. Lha wong kenyataannya kita ini sudah ‘diserang’ kok. Pulau terluar dicuil sana-sini oleh negara tetangga yang ngakunya serumpun. BUMN dicaplok MNC (Multi National Corporation), tuntutan kemerdekaan Papua, dan seterusnya. Berarti kalau disuruh membuat suatu pengandaian Indonesia diserang, maknanya adalah dijajahnya kedaulatan kita secara an sich, de jure dan de facto. Hal itu memang bukan tidak mungkin terjadi, sebabnya karena Indonesia itu mutiara seperti yang sudah dijelaskan di awal tadi. Kalau (misalnya) sekarang ini tiba-tiba Malaysia berusaha mencaplok kita untuk dimasukkan wilayah otoritasnya, tentu saja yang kita lakukan adalah melawan. Pertanyaan berikutnya yang akan muncul adalah, apa kita bisa menang? budget untuk sektor pertahanan saja sangat kecil. Akibatnya senjata dan armada perang kita jadi ‘katrok-katrok’. Pesawat dan tank kita banyak yang terpaksa menjadi ‘sumanto’ alias kanibal. Makan anggota badan sesama pesawat/tank lain agar tetap bisa beroperasi. Karena secara persenjataan kita sudah jelas kalah. Maka yang harus kita kedepankan ialah semangat patriotisme.

>

Dr Azahari Dkk saja mencari anak buah di Indonesia yang mau melakukan aksi bunuh diri, meskipun tidak jelas syahid atau tidaknya. Terkesan sangat gampang. Apalagi kalau rakyat diminta untuk jadi relawan berani mati yang sudah jelas syahid. Bisa dibayangkan pasukan Malaysia yang dikenal suka memukuli TKI itu terbirit-birit melihat “bom portable made in Indonesia”. Tetapi jangan lantas bergantung hanya pada semangat martir saja. Satu hal penting dalam perang adalah konsolidasi, dan yang lebih penting lagi dibawah satu komando. Merunut sistem pemerintahan di Indonesia berarti komando ada di tangan presiden. Baru kemudian dibawahnya dibentuk divisi-divisi yang mewadahi keahlian masing-masing Negara. Misalnya saja divisi IT untuk para hacker. Jangan lupa, Hacker Indonesia sudah terkenal di seantero dunia. Daripada keahliannya digunakan untuk hal-hal yang merugikan, akan lebih baik mereka diarahkan untuk meng-hacking rahasia pertahanan negara yang menyerang kita.

Ketika perang berakhir, satu pekerjaan rumah (PR) baru yang menanti kita adalah upaya untuk menjaga agar kejadian serupa tidak terulang lagi di kemudian hari. Cara yang paling efektif merevolusi persenjataan kita dan merekonsiliasi seluruh elemen bangsa dari Sabang sampai Merauke. Dengan pertahanan dan persenjataan yang kuat, sistem yang berbasis kerakyatan untuk mencegah disintegrasi bangsa dan memupuk semangat persatuan seluruh elemen bangsa, niscaya tidak aka nada yang berani merongrong kedaulatan Indonesia. Last but bot least, Tak ada yang lebih berbahaya selain ancaman disintegrasi bangsa. Serangan dari pihak luar memang berbahaya, tapi bukankah lebih berbahaya lagi dan sulit diantisipasi ketika ternyata “duri dalam daging” yang menyerang kita sendiri?. Hal tersebut hanya bisa dicegah dengan kemakmuran merata yang bisa dinikmati oleh seluruh rakyat. Baik di pusat maupun daerah, desa maupun kota, tanpa kecuali.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar