Google Search Engine

12.12.2008

Program Kelas Akselerasi SD s/d SMU

Menggugat Kelas Akselerasi
Oleh: N. Wibisono

Sebuah tren yang berkembang akhir-akhir ini, rata-rata di setiap institusi pendidikan. Khususnya SD sampai SMU membuka kelas akselerasi sebagai sebuah program unggulan sekaligus menarik minat para orag tua agar menitipkan pendidikan buah hatinya kepada sekolah tersebut.
Pihak sekolah beranggapan, atau setidaknya berasumsi yang kemudian muncul sebagai sebuah argumen. Bahwa tidaklah adil mengumpulkan dalam satu kelas yang sama antara siswa pintar dengan siswa-siswa lain yang tidak terlalu mencolok prestasinya. Juga dengan anggapan lain yang berbau “rasa iba” yaitu dengan pertimbangan siswa-siswa yang biasa saja dan minus dalam intelektualitas akan mengalami kesulitan untuk mengimbangi akselerasi dari cara berfikir para siswa yang masuk kategori jenius. Seakan-akan para pelaku pendidikan menganggap bahwa penyama rataan materi pelajaran adalah sebuah kenaifan.
Berkaca dari pemikiran tersebut penulis menganggap perlu untuk membuka sebuah sudut pandang baru yang mungkin bagi sebagian orang akan menjadi sebuah keanehan logika berfikir. Tetapi hal tersebut bukanlah penghalang , karena tidak selamanya yang mayoritas itu benar atau sebaliknya melawan arus itu salah.

Bagi penulis, penerapan sistem kelas akselerasi adalah sebuah kekonyolan dan contoh andil institusi pendidikan untuk turut serta menciptakan budaya pengkotak-kotakan yang berimbas menjadi sebuah masalah besar dalam kultur budaya bangsa ini. Jadi jangan coba-coba hanya menyalahkan perilaku masyarakat yang terlanjur “suka” untuk menempuh jalan biner dalam menyikapi segala sesuatu sebagai alternatif paling mudah tanpa harus susah payah mendalami sebuah masalah. Toh ternyata, sikap dan perilaku masyarakat tersebut. Selain merupakan efek dari lingkungan sosial juga merupakan produk dari institusi pendidikan itu sendiri. Memang, penulis juga menyadari. Keadilan bukanlah berarti sempit sebagai menyama ratakan tanpa klasifikasi. Tetapi bukan juga sebuah solusi pintar, ketika yang dilakukan adalah pemisahan kelas dan materi pendidikan. Yang tentu juga pada akhirnya memisahkan hubungan sosial antar kelas pintar dengan kelas biasa dalam pergaulan sehari-hari. Bagaimanapun juga, transfer pengetahuan tidak melulu dimonopoli oleh pengajar. Ada sebuah cara yang kadang-kadang lebih mengena, ketika siswa yang pintar membantu “mengajari” siswa lain, dikarenakan tidak adanya beda usia sebagai penghalang, rasa sungkan, selain tentunya kedekatan emosional antar satu sama lain.
Jadi, sekarang pilihan ada di tangan anda semua. Apakah ingin melihat segelintir orang-orang pintar yang individualistik karena tidak terbiasa bersosisialisasi dengan kaum lain, ataukah ingin bangsa ini maju bersama-sama. Dengan satu sama lain bahu membahu menuju masyarakat intelek dengan membuang jauh-jauh sifat selfish, yang sudah terbukti menjadi palu godam penghancur peradaban. Selain itu, yang juga harus anda telaah lebih dalam adalah, program kelas akselerasi ini mungkin saja hanya sebuah produk pikiran kalut ditengah ketatnya persaingan bisnis dunia pendidikan....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar