Saya tidak tahu, apakah memposting cerita ini salah atau benar. Pencemaran nama baik atau justru bentuk kesetiakawanan. Terserah persepsi anda, yang penting niat saya baik. Toh niat itu hanya diketahui oleh saya, sang pencipta, dan malaikat. Atas perintah sang pencipta tentunya.
Menyambung cerita tentang kedatangan saya di kota Cepu. Yang bisa anda kilas balik lagi DISINI.
Setelah menghubungi Mex untuk mengabarkan kedatangan saya (terimakasih untuk Gofur yang pada kunjungannya sebelum saya, dengan ikhlas membelikan mex no + handphone). Sembari menunggu, saya menenggak kopi di warung depan terminal Cepu. Mengulang memori indah saat saya berkunjung ke kota ini, dulu. Semua tak berubah, masih sama. Warung yang sama, rasa kopi yang sama.
Dan..”woi, mex”
teriakku keras-keras sambil melambaikan sebelah tanganku. Saat kelebat tubuh Mex terlihat berjalan celingak-celinguk mencariku. Membuyarkan serpih-serpih memori yang tadi sempat kuhimpun. Dia tertawa, tidak terlalu lebar. Tak selepas dulu. Tapi tetap tak tahu aturan :D, lincah melompati pagar berparit daripada harus repot-repot memutar untuk menjangkau ku. “woi bos, yek opo kabare” katamu sambil menjabat tangan sekaligus memeluk ku.
“Apik-apik ae pren”
“pancet kurus ae koen Mex, cuman tambah putih hehe”
kau pun cuma nyengir kuda tanpa menyahut
Begitulah, obrolan pun mengalir. Tentang cerita-cerita usang yang pernah tercatat lembaran sejarah kami. Itupun dominasi inisiatif tetap saya pegang. Dia lebih banyak diam, sambil menghisap dalam-dalam rokok yang saya tawarkan.
Huuuffft, ada apa denganmu Mex. Ada yang hilang dari dirimu. Meskipun saya tidak tahu apa itu. Tatapanmu kosong tanpa visi :'(.
Berbagai macam pertanyaan sempat kulontarkan sekedar untuk memancing agar dia sedikit menguak tabir itu. Tapi selalu kandas. Bahkan waktu pun seakan tak sabar, hingga kami pun musti beranjak melangkah. Berjalan kaki menyusuri gang, pematang sawah sampai akhirnya menjejakkan kaki di rumah. Setelah membersihkan diri disusul mengisi perut yang dihidangkan ibunda Mex. Kami pun kembali tenggelam dalam obrolan-obrolan ringan. Saat itu waktu menunjukkan pukul 5 sore. Tapi tetap saja tidak banyak kemajuan yang saya dapat. Tabir itu terlalu tebal. Saya pun memilih untuk mem pending misi saya. Setidaknya untuk beberapa jam kedepan, harap saya. Sempat, dalam jeda itu saya terlibat pembicaran dengan Ayah Mex. Tapi yang saya dapati hanyalah keluh kesah umum seorang Ayah yang khawatir tentang status pengangguran (untuk semantara) anaknya. Tak lebih.
Setelah maghrib, kami keluar menuju taman kota. Tempat hiburan favorit masyarakat kota itu. Menuju salah satu warung di sisi paling sudut. Memesan kopi. Dan sayapun mulai mengeluarkan kemampuan terbaik untuk mengorek cerita dari Mex. Karena saya juga dikejar waktu, besok pagi harus segera kembali ke Surabaya. Berbagai macam senjata, pedang, keris, tombak, kelewang. Semua saya muntahkan untuk menyibak tabir itu. Tabir yang membuat Mex sama sekali tidak tertarik untuk bekerja (lagi). Yang membuat Mex menjadi introvert.Tapi saya GAGAL :”(.
“tidak, tidak ada apa-apa” itu2 saja jawaban saktimu
Secepat kilat saya memutar otak, sekaligus banting setir merubah rencana. Hanya satu pilihan tersisa. Mex harus bekerja, didekat teman-temannya. Paling tidak jika ada teman-teman didekatnya, kita punya waktu lebih lama untuk bicara dari hati ke hati. Selain tentunya mengalihkan perhatiannya pada pekerjaan.Ya, cuma itu. Sebatas itulah yg saya dapatkan sampai keesokan harinya. Saya hanya mampu membawa lembar-lembar berkas lamaran dia ketika kembali ke surabaya. Yang akan saya coba masukkan di kantor saya. Tapi saya mampu sedikit tersenyum, Mex lumayan antusias menanggapi tawaran saya. Meskipun saya juga hanya bisa mencoba, saya bukan siapa-siapa di kantor saya. Bukan pengambil keputusan. Pendeknya, keputusan bukan di tangan saya. Finally, saya mohon maaf sebesar-besarnya pada teman-teman. Saya GAGAL menjalankan misi utama kita. Mencari akar yang menjadi factor pengubah Mex. Factor itu masih tetap ‘x’. Mohon maaf juga untuk Mex, saya terpaksa memposting cerita ini. Karena di fikiran saya, teman-teman yang lain juga ingin tahu keadaan Mex. Sejujurnya, ada juga bebarapa hal yang tidak (mampu) saya masukkan ke dalam cerita. Karena pertimbangan sensitifitas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar