Mungkin saya tipe orang yang suka berandai-andai dan bermimpi. Tetapi, hanya itulah yang saya dan sebagian besar rakyat Indonesia bisa lakukan. Kenapa? Karena kami sudah muak dengan realita, realita hidup yang terpampang dihadapan kami hanyalah kesuraman, apakah besok kami bisa makan? Apakah listrik dirumah kami bisa terbayar bulan ini? Apakah anak kami bisa sekolah?, pertanyaan-pertanyaan seperti ini hanyalah sekelumit dari isi otak kami yang penuh dengan berbagai macam masalah. Salah satu cara kami bisa melampiaskan (baca : orgasme) harapan-harapan kami adalah dengan menonton dan membaca berbagai media informasi.
UU PORNOGRAFI (LAGI), PERLUKAH?
Mungkin saya tipe orang yang suka berandai-andai dan bermimpi. Tetapi, hanya itulah yang saya dan sebagian besar rakyat Indonesia bisa lakukan. Kenapa? Karena kami sudah muak dengan realita, realita hidup yang terpampang dihadapan kami hanyalah kesuraman, apakah besok kami bisa makan? Apakah listrik dirumah kami bisa terbayar bulan ini? Apakah anak kami bisa sekolah?, pertanyaan-pertanyaan seperti ini hanyalah sekelumit dari isi otak kami yang penuh dengan berbagai macam masalah. Salah satu cara kami bisa melampiaskan (baca : orgasme) harapan-harapan kami adalah dengan menonton dan membaca berbagai media informasi. Menarik disimak adalah kontroversi seputar UU Pornografi dan pornoaksi, penulis bukannya tidak setuju dengan bapak-bapak bersafari di DPR yang sedang menggodok rancangan undang-undang tersebut. Sekali lagi saya mempunyai sebuah mimpi, bagaimana kalau yang dirancang adalah Undang-Undang tentang moralitas? Mungkin kelihatannya hal yang mustahil, bagaimana mungkin moralitas yang bisa dikatakan abstrak dimasukkan dalam sebuah Undang-Undang?. Ini hanyalah refleksi sebuah kegundahan, kita tidak usah malu-malu untuk mengatakan bahwa sudah sejak lama moral bangsa ini rusak. Media informasi hanyalah sebagian kecil penyebab, bagaimana dengan pemerkosaan hak-hak rakyat, penumpulan kreativitas, penggusuran atas nama pembangunan. Apakah hal-hal seperti itu tidak lebih penting daripada mengurusi tentang goyang pedangdut, misalnya. Moral bangsa ini sudah rusak jauh sebelum goyang (maaf), dewi persik hadir. Pornografi dan pornoaksi merupakan ekses dari rusaknya moral. Jadi sebenarnya UU moral lebih bisa mencakup semuanya,dengan UU ini, yang kita perbaiki adalah moral, bukan porno-nya. Tidakkah kita malu sebgai komunitas muslim terbesar di dunia tetapi korupsinya juga menduduki urutas atas klasemen sementara? Berapa banyak tokoh agama yang bisa dijadikan panutan? label Haji, Aa’, Ulama, dan lain-lain sekarang ini hanya dijadikan alat untuk keuntungan finansial. Dengan label-label keagamaan dan sedikit kemampuan mengolah dalil, ayat dan fatwa-fatwa, masyarakat seakan percaya begitu saja dengan kita. Mereka tidak tahu bahwa kami ini koruptor, suka main perempuan, diktator, penipu dan lain sebagainya. Salahkah kalau kami bermimpi bahwa akan hadir sebuah Undang-Undang tentang moralitas? Kami bermimpi karena yakin bahwa hal ini tidak mungkin terjadi. Apa berani DPR membuat undang-undang yang akan membatasi kekurang ajaran mereka? Hanya satu yang kami yakini, (mengutip pernyataan emha ainun nadjib) hukum adalah tingkatan paling rendah dalam strata keadilan
Oleh :
Nandar Wibisono
Tidak ada komentar:
Posting Komentar