Google Search Engine

12.17.2009

BAHASA MALANGAN (BOSO WALIKAN) : KEPRIHATINAN DAN HARAPAN


Bahasa merupakan salah satu ciri dan pengikat dalam suatu komunitas, atau dalam lingkup yang lebih besar merupakan salah satu penyangga penting berdirinya sebuah bangsa. Indonesia mempunyai beraneka ragam bahasa dan dialek yang terutama disebabkan oleh banyaknya suku dan tersebarnya wilayah Indonesia menjadi beribu-ribu pulau.
Di Jawa Timur, bahasa yang lazim dipakai oleh sebagian besar penduduk adalah bahasa Jawa, dan sebagian lainnya menggunakan bahasa Madura dalam percakapan sehari-hari. Terkecuali di Malang, selain terkenal dengan tempe, apel, keramik, fanatisme sepakbola (Aremania), Malang dikenal mempunyai bahasa tutur khas yang biasa disebut “Boso Walikan”. Sebuah bahasa yang dalam kaidah linguistik dianggap sebagai bahasa tidak baku.



Pada masa sekarang ini kita mungkin sudah jarang mendengar orang bercakap-cakap menggunakan jenis bahasa ini, hal inilah yang mengkhawatirkan penulis apabila suatu saat nanti “Boso Walikan” akan punah. Kesinambungan menjadi sangat penting agar identitas diri warga Malang terpupuk, terutama bagi generasi muda dan generasi yang akan datang. Apalagi bila melihat realita yang terpampang di depan kita saat ini adalah para kaum muda lebih nyaman dan merasa bangga menggunakan bahasa lain seperti misalnya bahasa khas Betawi yang nota bene bukan jenis bahasa yang berasal dari kebudayaan asli Malang dalam tutur kata dan komunikasi sehari-hari. Memang, belajar budaya lain bukanlah sesuatu yang diharamkan bahkan sebuah keharusan karena kita hidup di Indonesia yang sangat mengagungkan ke-Bhinekaan sebagai dasar persatuan. Namun melestarikan kebudayaan (termasuk didalamnya bahasa) sendiri harus ditempatkan pada posisi teratas, baru kemudian budaya suku lain, bahkan bangsa lain.
Realita lain yang mendorong kemungkinan punahnya “Boso Walikan” adalah para orang tua mengajarkan dan mewajibkan penggunaan bahasa Indonesia dalam semua hal sejak bayi tanpa memberi pengajaran dan pengetahuan sama sekali tentang bahasa daerah dan ragamnya. Konsep ini menurut penulis terlalu klise. Bukankah ketika kita berinteraksi dengan penduduk setempat akan lebih mudah dan lebih erat tali persaudaraan jika kita menggunakan bahasa setempat?!. Sedangkan untuk komunikasi trans-suku dan semua kegiatan formal, barulah dipergunakan bahasa Indonesia, dengan penekanan pada penggunaan bahasa Indonesia menurut kaidah yang baik dan benar.
Untuk mengantisipasi Bahasa Khas Malangan ini dari kepunahan, solusi yang dapat ditawarkan diantaranya; diperlukan adanya pengumpulan, penataan dan pengkonsepan bahasa dalam bentuk kamus (selama ini penulis belum pernah melihat atau mungkin sudah ada kamus “Boso Walikan” ini tapi tidak ditemui oleh penulis). Mungkin bagi sebagian orang ide pembuatan kamus jenis ini terlalu mengada-ada, karena konsep dasar bahasa ini yang simpel dan sederhana yaitu hanya membaca secara terbalik kata-kata dalam bahasa Indonesia (sebagian besar). Seperti contohnya ‘kamu’ dibaca ‘umak’, ‘tidak’ dibaca ‘kadit’, dll. Tetapi tidak semuanya diberlakukan konsep yang sama dalam membalik kata, seperti misalnya ‘Genaro’ yang artinya ‘orang’, ‘oker’ artinya ‘rokok’, dll. Dengan adanya kamus, paling tidak mampu mengapresiasi keinginan tahuan dan kemauan orang-orang yang berminat belajar bahasa ini secara lebih mudah. Toh, bahasa gaulpun dikamuskan, kenapa Boso Walikan tidak?!
Solusi kedua adalah, bila kita sudah sering melaksanakan English Day dalam dunia pendidikan, mungkin perlu dipertimbangkan adanya kegiatan sejenis untuk Boso Walikan. Tidak perlu muluk-muluk setiap minggu sekali misalnya, paling tidak 1 bulan sekali. Cukup untuk mengenalkan pada setiap individu tentang keberadaan bahasa lokal.
Sebagai penutup, Opini ini bukanlah wujud dari fanatisme kedaerahan. Penulis menganggap dan yakin sebagian besar orang setuju bahwa bangsa Indonesia sejak lahir ditakdirkan dalam keberagaman. Kita bersatu dalam keaneka ragaman, bukannya keberagaman dipaksakan untuk bersatu. Bahasa Indonesia tetap sebagai bahasa pemersatu, bahasa yang digunakan trans-suku dan setiap kegiatan formal. Sementara, biarkanlah anak cucu kita bangga untuk saling berdialog dan berkomunikasi dengan sesama penduduk lokal Malang dalam kegiatan non formal, dengan bahasa khas Malangan. Bahasa yang tidak baku, tapi cuma daerah kita yang punya, kita semestinya merasa bangga………

1 komentar: