Memahami Gus Dur, ibarat mengejar kereta express. Pemikiran beliau jauh ke depan, jauh melampaui pemikiran masyarakat umum. Maka tak heran jika tidak sedikit yang beranggapan beliau orang yang linuwih. Weruh sedurunge winarah (mengetahui sesuatu sebelum terjadi).
Terlepas dari itu, beliau tidak pernah jauh dari kontoversi. Sebagian besar karena ke kurang pahaman masyarakat tentang express-sitas visi beliau. Sebagian kecil lagi, karena beliau justru (sengaja) menyulut kontroversi. Agar budaya berfikir masyarakat terasah. Agar masyarakat tidak terbiasa menelan mentah-mentah suatu isu, begitu kata Gus Dur.
Cita-cita Gus Dur memang tidak jauh dari ungkapan tersebut, Beliau ingin melihat manusia-manusia Indonesia yang cerdas, kritis. Beliau ingin menegakkan demokrasi sampai tataran terkecil sekalipun(sampai sampai Gus Mus-sahabat dekatnya menjuluki Gus Dur orang yang gila demokrasi).
Beliau ingin semua bagian dari rakyat Indonesia duduk berdampingan dalam damai dan berada pada derajat yang sama dimuka hukum. Tanpa mempersoalkan hal-hal remeh yang berbau SARA.
Beliau berteriak lantang menyiapkan badannya sebagai bemper, bagi kaum minoritas yang ditelantarkan oleh undang-undang. Pluralisme berbungkus demokrasi, begitulah istilahnya. Kini, negarawan itu telah pergi. Diiringi isak tangis ribuan rakyat Indonesia. Tokoh yang biasa membuat kita tertawa itu sekarang membuat kita menangis.
Sekaligus mementahkan pendapat sebagian kecil orang yang tidak suka dengan beliau, yang mengatakan Gus Dur sudah gila, sudah ditinggalkan rakyatnya. Tidak, sama sekali tidak. Mungkin benar Gus Dur telah tenggelam dari Headline media massa dalam kurun waktu setelah kejatuhannya.
Mungkin jasad beliau “telah mati” lebih dulu jauh sebelum saat ini. Saat pintu kamar mandi PBNU tak kunjung terbuka di pertengah 90an dulu. Saat beliau terkena stroke untuk pertama kalinya. Tapi pandangan-pandangan, kharisma, orisinalitas ide beliau tak akan pernah lepas dari dada rakyat Indonesia. Dari semua kalangan. Gus, semoga engkau tenang di alam sana. Semoga kami cepat menemukan sosok sepertimu. Semoga….
Profil KH. Abdurrahman Wahid
Tempat Tgl. Lahir:
Denanyar, Jombang, 4 Agustus 1940
Orang Tua:
Wahid Hasyim (Ayah), Solechah (Ibu)
Istri:
Sinta Nuriyah
Anak-anak:
Alisa Qotrunada
Zanuba Arifah
Anisa Hayatunufus
Inayah Wulandari
Pendidkan:
Pesantren Tambak Beras, Jombang (1959-1963)
Departemen Studi Islam dan Arab Tingkat Tinggi, Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir (1964-1966)
Fakultas Sastra, Universitas Baghdad (1966-1970)
Karir:
Pengajar dan Dekan Fakultas Ushuludin, Universitas Hasyim Anshari
Ketua Balai Seni Jakarta (1983-1985)
Pendiri dan pengasuh pesantren Ciganjur (1984-sekarang)
Ketua Umum PBNU (1984-1999)
Ketua Forum Demokrasi (1990)
Ketua Konferensi Agama dan Perdamaian Sedunia (1994)
Anggota MPR (1999)
Presiden RI (20 Oktober 1999-24 Juli 2001)
Ketua Dewan Syuro PKB
Tempat Tgl. Lahir:
Denanyar, Jombang, 4 Agustus 1940
Orang Tua:
Wahid Hasyim (Ayah), Solechah (Ibu)
Istri:
Sinta Nuriyah
Anak-anak:
Alisa Qotrunada
Zanuba Arifah
Anisa Hayatunufus
Inayah Wulandari
Pendidkan:
Pesantren Tambak Beras, Jombang (1959-1963)
Departemen Studi Islam dan Arab Tingkat Tinggi, Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir (1964-1966)
Fakultas Sastra, Universitas Baghdad (1966-1970)
Karir:
Pengajar dan Dekan Fakultas Ushuludin, Universitas Hasyim Anshari
Ketua Balai Seni Jakarta (1983-1985)
Pendiri dan pengasuh pesantren Ciganjur (1984-sekarang)
Ketua Umum PBNU (1984-1999)
Ketua Forum Demokrasi (1990)
Ketua Konferensi Agama dan Perdamaian Sedunia (1994)
Anggota MPR (1999)
Presiden RI (20 Oktober 1999-24 Juli 2001)
Ketua Dewan Syuro PKB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar